Editorial Pagi, PB – Antrean solar yang kembali mengular di Palembang bukan lagi sekadar persoalan teknis distribusi. Ini adalah potret klasik kegagalan tata kelola energi bersubsidi yang terus berulang tanpa solusi yang menyentuh akar persoalan.
Berulang kali terjadi, berulang kali pula publik disuguhi alasan yang sama: keterlambatan suplai, lonjakan permintaan, atau masalah distribusi. Namun yang absen adalah komitmen konsisten untuk memastikan bahwa layanan energi fundamental ini berjalan tanpa mencederai aktivitas ekonomi masyarakat.
Pemandangan ratusan kendaraan mengantre berjam-jam—mulai dari truk logistik, bus, hingga angkutan barang—seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan Pertamina. Ketika solar bersubsidi tak tersedia tepat waktu, ekonomi daerah ikut terhambat.
Sopir logistik kehilangan waktu dan pendapatan, ongkos operasional membengkak, dan biaya distribusi barang berpotensi naik. Dampaknya pada rantai pasok sangat nyata: keterlambatan pengiriman, biaya yang menekan pelaku usaha kecil, hingga potensi inflasi daerah.
Di tengah kondisi ini, publik patut mempertanyakan manajemen distribusi BBM bersubsidi yang tampak rapuh. Pengawasan yang lemah membuka ruang bagi praktik penyelewengan, mulai dari penimbunan hingga permainan oknum di lapangan.
Sementara mekanisme penyaluran yang tidak responsif terhadap lonjakan permintaan menunjukkan bahwa sistem distribusi belum cukup adaptif. Pemerintah daerah dan Pertamina perlu berdiri di garis depan, bukan sekadar meredam keluhan.
Transparansi pasokan, penegakan hukum bagi penyelewengan, serta penguatan pengawasan digital terhadap distribusi solar bersubsidi adalah langkah nyata yang tak bisa lagi ditunda. Di sisi lain, evaluasi berkala terhadap kuota dan kebutuhan riil daerah harus dilakukan secara berbasis data, bukan sekadar asumsi tahunan.
Krisis antrean solar di Palembang hari ini sejatinya adalah cermin dari persoalan yang lebih besar: tata kelola energi bersubsidi yang rapuh. Selama sistem tidak diperbaiki, persoalan ini akan terus muncul—sering, repetitif, dan merugikan banyak pihak. Masyarakat berhak mendapatkan layanan energi yang layak, dan pemerintah berkewajiban memastikan itu terwujud tanpa menunggu krisis berikutnya datang. (red)






