PALEMBANG, palembangbaru.com – Kepala Bank Indonesia Perwakilan Sumatera Selatan (Sumsel), Yunita Resmi Sari menyatakan, selama tahun 2019 Indonesia mengalami penurunan ekonomi secara drastis yakni sebesar 3 persen.
“Adanya perang dagang antara Amerika dan Tiongkok, membuat Indonesia ikut terpengaruh. Penurunannya menjadi tiga persen, itu karena faktor perlambatan ekonomi global akibat turunnya harga komoditas dunia,” ujar Yunita, Kamis (5/12/2019).
Yunita memaparkan, secara nasional pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh dari 5,1 menjadi 5,5 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi inflasi Sumsel, tumbuh lebih tinggi yakni 5,7 persen.
“Persentase ekonomi Sumsel naik di ekonomi nasional pada triwulan tiga tahun 2019. Ini karena regional Sumsel punya karakteristik pertumbuhan ekonomi, yang bersumber pada komoditas dan mampu mengembangkan produk dengan manage yang baik, sehingga nilai inflasi tumbuh lebih tinggi,” jelasnya.
Dari data tercatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat sejak tahun 2015 dari 4,42 persen, tumbuh menjadi 5,03 persen pada tahun 2016. Kemudian pada 2017 naik lagi menjadi 5,51 persen, 2018 meningkat 6,04 persen, dan di 2019 turun menjadi 5,01 persen,” ujar dia.
Yunita menuturkan, selain faktor perlambatan ekonomi global, penurunan ekonomi Indonesia juga akibat beberapa faktor. Seperti turunnya suku bunga tiga kali pada tahun 2019, yang mempengaruhi moneter di Amerika dan Indonesia tidak mampu ikut menyelamatkan kondisi inflasi.
Berikutnya karena sektor industri yang tidak sinergi secara fiscal, adanya nilai tukar tidak stabil, injeksi investor hanya mencari market dengan kredibilitas prospek ekonomi, serta pertumbuhan digitalisasi yang meningkat pesat.
“Ini membuat perkembangan fintech dan bictech menganggu persaingan secara sehat. Selanjutnya, integrasi yang mengubah perilaku manusia dalam sistem perubahan model bisnis,” tutur dia.
Akibat keterbatasan penyaluran kredit perbankan ke daerah, urai Yuanita, juga menjadi faktor yang mempengaruhi turunnya ekonomi Indonesia.Pada tahun 2019 ini, Indonesia menargetkan kredit tembus 8,0 persen, sedangkan sampai akhir tahun hanya mampu menembus di angka 6,0 persen.
“Pengaruh Indonesia tidak mampu menjaga ketahanan ekonomi nasional, karena nilai tukar yang tumbuh tidak stabil. Kemudian disebabkan transformasi pengembangan pariwisata yang tidak sesuai dengan dorongan inklusi keuangan,” katanya.
Yunita melanjutkan, agar pada tahun 2020 nanti Indonesia bisa meningkatkan inflasi, maka upaya yang harus diupayakan dengan mulai melakukan fleksibilitas pendanaan perbankan.
“Dengan membantu pengembangan UMKM, optimistis bisa membangun Indonesia dengan perbankan kredit investasi, mulai kebijakan implementasi QRIS (Quick Response Indonesian Standard), serta mempermudah transaksi ritel,” ujar Yunita.
Kemudian memulai sinergi pengendalian inflasi lebih rendah. Karena hal itu menjadi prasyarat angka kemiskinan di Provinsi Sumsel bisa menurun. Tentu dengan memperluas kegiatan ekspor dan transformasi pengembangan komoditas kopi, serta karet dari hulu ke hilir.
“Terakhir mencoba terobosan dengan melakukan belanja visit untuk mendorong kegiatan ekspansi ketika ekonomi lesu,” jelas Yunita.
Laporan : Dede / Sonny