Oleh: ADV IDASRIL FIRDAUS TANJUNG.SE.SH.MM.MH( Advokat & Pemerhati Etika Penyelenggara Negara)
Dalam beberapa minggu ini,warga Sumatera Selatan khususnya kota Palembang disuguhkan dengan pemberitaan di media sosial dan media menstream tentang penetapan mantan pejabat sebagai tersangka oleh Kejati Sumsel.penetapan tersangka yang di lakukan oleh penyidik kejaksaan tinggi Sumsel ini, setelah melakukan serangkaian pemeriksaan intensif dan yang membuat kita miris ada beberapa tersangka yang sudah di hukum dan kembali di tetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Korupsi yang melibatkan oknum pejabat publik bukanlah sekadar tindak pidana biasa. Ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat dan pengingkaran terhadap nilai-nilai dasar konstitusi. Ketika seorang pejabat yang dipilih atau diangkat untuk mengelola keuangan negara justru menilapnya demi kepentingan pribadi atau kelompok, maka sesungguhnya yang dirampas bukan hanya uang negara, melainkan kepercayaan publik, keadilan sosial, dan masa depan generasi bangsa.
Korupsi bukanlah kejahatan tanpa korban. Di balik setiap rupiah yang dikorupsi, ada anak-anak yang kehilangan akses pendidikan layak, ada pasien yang tak tertolong karena sarana kesehatan tak tersedia, ada petani yang gagal panen karena subsidi tak kunjung turun. Maka tak berlebihan jika Mahkamah Konstitusi dalam berbagai pertimbangannya menyebut korupsi sebagai “extraordinary crime” yang memerlukan pendekatan luar biasa pula dalam penegakannya.
Lebih menyakitkan lagi, banyak pejabat korup yang masih bisa tersenyum di layar kaca, seolah hukum bisa dinegosiasikan. Inilah yang memicu krisis moral dan frustrasi publik, karena hukum kadang tampak hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Padahal, hukum seharusnya menjadi instrumen keadilan, bukan alat kekuasaan atau pelindung privilese.
Konstitusi Republik Indonesia menegaskan bahwa negara ini berdasar atas hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Seorang penyelenggara negara wajib menjunjung tinggi
integritas, transparansi, dan akuntabilitas, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Dalam konteks ini, korupsi oleh pejabat bukan hanya pelanggaran hukum pidana, tetapi juga pelanggaran terhadap etika jabatan dan prinsip keadaban publik.
Sudah saatnya kita tidak hanya menuntut penindakan hukum, tetapi juga reformasi sistemik: transparansi anggaran, pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan, keterbukaan informasi publik, dan keteladanan dari pucuk pimpinan. Korupsi harus dilawan dari akar hingga ke pucuk – bukan hanya karena ia merugikan negara, tetapi karena ia menghancurkan harapan rakyat.
Sebagai masyarakat hukum, kita menolak narasi “oknum” sebagai penghalusan dari kejahatan yang sistematis. Karena jika korupsi menjadi budaya, maka keadilan hanya tinggal mitos.(**)