LEMATANG, PB – Kasus kerusakan lingkungan dengan modus pemindahan alur Sungai Penimur yang dilakukan perusahaan kontraktor pertambangan, PT Lematang Coal Lestari (LCL) telah disidang oleh Pengadilan Negeri (PN) Muara Enim.
Dalam perkara Nomor 31/Pid.B/LH/2023/PN Mre itu, Hakim Pengadilan Negeri Muara Enim yang diketuai Yudi Noviandri memvonis perusahaan tersebut dengan pidana denda sebesar Rp2 miliar.
PT LCL yang diwakili Penanggung Jawab Operasional (PJO), Zambi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air dan nonkonstruksi pada sumber air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sejumlah Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka dilakukan penyitaan terhadap harta benda Korporasi dan dilelang untuk membayar denda sesuai dengan peraturan yang berlaku,” bunyi putusan hakim pada sidang yang digelar, Selasa, 11 April 2023.
Sidang perkara Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Pertambangan(Mineral,Batu Bara), Minyak dan Gas Bumi itu telah berlangsung lebih kurang tiga bulan. Kasus tersebut mulai masuk ranah pengadilan sejak 31 Januari 2023 dan mendapat putusan vonis pada 11 April 2023.
PT LCL sendiri merupakan perusahaan kontraktor yang melakukan kegiatan pertambangan di IUP Operasi milik PT Musi Prima Coal sesuai dengan Perjanjian Kerjasama Operasional Nomor: 0191/MPC-LCL/VIII/2016 tanggal 19 Agustus 2016.
Dalam perjanjian itu, PT LCL bertugas membuat penempatan overburden (OB) mengggunakan sepadan Sungai Penimur yang berada dalam IUP-OP PT Musi Prima Coal yang berlokasi di Dusun III, Desa Gunung Raja, Kecamatan Empat Petulai Dangku, Kabupaten Muara Enim sepanjang lebih kurang 800 meter.
Namun, pekerjaan penempatan OB tersebut ternyata berjarak kurang dari 200 meter atau berada pada sempadan Sungai Penimur sehingga menyebabkan aliran Sungai Penimur menjadi terganggu. Tak hanya itu, kegiatan produksi itu juga menyebabkan pencemaran sungai yang dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat Desa Gunung Raja, Muara Enim hingga Kelurahan Payu Putat, Kota Prabumulih.
BBWSS Palembang Sudah Beri Teguran Tiga Kali
Terkuaknya kasus pencemaran Sungai Penimur itu berawal dari laporan organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) Wilayah VIII Palembang. Dalam laporan itu, perusahaan diduga telah melakukan pemindahan alur Sungai Penimur hingga menyebabkan pencemaran.
“Kami saat itu langsung melakukan pengecekan ke lokasi perusahaan. Tapi, proses pengecekan itu terus dihalang-halangi. Jadi pemeriksaan hanya dilakukan dengan penelusuran Sungai Penimur yang berada di luar areal pertambangan,” kata Humas BBWSS Wilayah VIII Palembang, Masagus Zulfikar Rasyidi saat dibincangi, Rabu (10/5).
Pria yang akrab disapa Didi ini mengatakan, tim BBWSS Palembang baru bisa melakukan pengecekan ke dalam lokasi perusahaan setelah tim Bareskrim Polri melakukan pemeriksaan ke lokasi.
“Jadi laporan LSM itu juga ditembuskan ke Bareskrim Polri. Kami juga ikut tim (Bareskrim) untuk mengecek kondisi Sungai Penimur itu,” terangnya.
Setelah ditelusuri, ternyata benar ada perubahan alur sungai Penimur yang tidak disertai izin rekomendasi teknis (rekomtek) sesuai dengan aturan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR).
“Dari situ, kami membuat teguran sebanyak tiga kali kepada perusahaan untuk membuat izin rekomtek serta mengembalikan alur sungai seperti sedia kala,” terangnya.
Terkait nasib Sungai Penimur, Didi mengatakan jika nantinya pengembalian alur sungai oleh perusahaan akan menjadi tugas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menjadi pembina perusahaan pertambangan.
“Bisa jadi setelah operasional atau IUP perusahaan habis, Sungai itu dikembalikan lagi seperti semula saat kegiatan reklamasi. Tapi itu tergantung dari Kementerian (ESDM) terkait polanya seperti apa,” bebernya.
Pemerintah Didesak Evaluasi Izin Perusahaan
Kerusakan Sungai Penimur yang dilakukan PT LCL dinilai tak sebanding dengan pidana denda yang diterima perusahaan tersebut. Masyarakat Muara Enim mendesak pemerintah untuk menekan perusahaan mengembalikan atau memperbaiki sungai yang rusak seperti semula. Selain itu, pemerintah juga diminta untuk meninjau ulang izin operasional perusahaan.
“Kalau hanya pidana denda saja, perusahaan bisa saja menyanggupinya mengingat pendapatan dari sektor batubara tentunya cukup besar. Harusnya, ada tambahan kewajiban untuk mengembalikan sungai seperti sedia kala,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Masyarakat Suka Lingkungan Hidup (Gemasulih) Kabupaten Muara Enim, Andi Candra.
Meski begitu, Andi mengapresiasi langkah dari aparat penegak hukum yang telah membawa persoalan kerusakan lingkungan tersebut hingga ke ranah pengadilan. “Sebagai bentuk efek jera bagi korporasi yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dalam menjalankan kegiatan operasinya,” ucapnya.
Hanya saja, langkah tegas itu juga harus dibarengi dengan tindakan tegas lainnya seperti menutup operasional perusahaan yang terbukti merusak lingkungan. “Putusan pengadilan ini seharusnya dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam mempertimbangkan izin perusahaan tersebut. Putusan pengadilan ini telah mentasbihkan perusahaan sebagai penjahat lingkungan. Artinya, izin operasionalnya harus ditinjau ulang,” terangnya. (Son/ril)