Muara Enim, PB – Konflik agraria antara masyarakat Desa Darmo, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, dengan PT Bukit Asam (PTBA) sempat menyeruak ke ruang publik. Di tengah geliat pembangunan dan aktivitas pertambangan yang menopang ekonomi nasional, ada suara lirih dari rakyat kecil yang menuntut keadilan atas tanah yang telah mereka kelola turun-temurun.
Beberapa warga mengaku lahan dan tanaman produktif mereka dirusak tanpa ganti rugi yang layak. PTBA membantah tudingan tersebut dan menegaskan seluruh kegiatan tambang berada di wilayah yang memiliki izin resmi. Pemerintah daerah melalui DPRD telah memediasi kedua belah pihak dan meminta aktivitas pertambangan di lahan yang disengketakan untuk dihentikan sementara. Namun, sampai hari ini, akar persoalan belum menemukan jalan keluar yang tuntas.
Kasus di Desa Darmo menyadarkan kita bahwa pembangunan ekonomi harus berpijak pada nilai kemanusiaan. Negara, melalui perusahaan milik negara seperti PT Bukit Asam, memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan kemajuan tidak mengorbankan hak rakyat. Pembangunan yang menyingkirkan masyarakat kecil bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran moral.
Sebagai BUMN yang menjadi kebanggaan bangsa, PT Bukit Asam seharusnya menampilkan wajah pembangunan yang berkeadilan: menghargai hak rakyat, transparan dalam akuisisi lahan, dan terbuka terhadap penyelesaian damai. Prinsip Good Corporate Governance tidak hanya bermakna kepatuhan administratif, tetapi juga penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia.
Islam mengajarkan bahwa keadilan adalah pondasi utama kehidupan sosial. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS An-Nahl: 90). Maka, menegakkan keadilan dalam urusan tanah dan hak hidup rakyat adalah bagian dari ibadah sosial yang harus dijaga.
Kami mengapresiasi langkah mediasi yang dilakukan pemerintah daerah dan DPRD Muara Enim. Namun, langkah itu harus diiringi ketegasan hukum agar konflik agraria tidak terus menjadi luka lama yang berulang. Pemerintah pusat juga perlu memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap proses pembebasan lahan di sektor pertambangan, agar tidak terjadi tumpang tindih kepemilikan atau penyimpangan prosedur.
Keadilan sosial bukan hanya amanat konstitusi, melainkan ruh dari keberadaan negara. Bila rakyat kehilangan tanah dan keadilan di tanahnya sendiri, maka hilang pula makna dari cita-cita kemerdekaan.
Semoga konflik di Desa Darmo menjadi pengingat bahwa pembangunan sejati bukan menyingkirkan. (Red)






