Palembang, PB – Demonstrasi yang digelar oleh sejumlah mahasiswa di depan Kantor Gubernur Sumatera Selatan pada Rabu (29/10) lalu menyita perhatian publik. Aksi itu menjadi viral bukan hanya karena keberanian mahasiswa dalam menyuarakan kritik, tetapi karena julukan yang mereka sematkan kepada Gubernur Sumsel, Herman Deru: “Gubernur Helikopter.” Julukan ini dengan cepat menyebar di berbagai platform media sosial dan memicu perdebatan panas di dunia maya.
Dalam dunia politik, simbol sering kali berbicara lebih keras daripada kata-kata. Julukan “Gubernur Helikopter” bukan sekadar sindiran terhadap gaya kepemimpinan yang gemar meninjau dari udara, tetapi juga bentuk kritik atas jarak antara penguasa dan rakyatnya. Helikopter, dalam konteks ini, menjadi metafora bagi kekuasaan yang melayang tinggi di atas realitas warga — melihat dari jauh tanpa benar-benar menyentuh tanah tempat rakyat berpijak.
Mahasiswa, sebagai bagian dari kekuatan moral bangsa, tampaknya ingin mengingatkan bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang hadir secara simbolik di udara, tetapi juga turun langsung menyerap aspirasi masyarakat di lapangan. Kritik yang mereka sampaikan, betapapun keras dan terkesan sarkastik, adalah cermin dari keresahan sosial yang kian menumpuk di tingkat akar rumput.
Pemerintah daerah, termasuk Gubernur Sumsel, seharusnya tidak alergi terhadap kritik. Kritik, bahkan yang paling pahit sekalipun, adalah bentuk partisipasi publik dalam mengawal jalannya pemerintahan. Dalam negara demokrasi, suara mahasiswa bukan ancaman, melainkan alarm moral agar kekuasaan tidak kehilangan arah.
Kepemimpinan sejati tidak diukur dari seberapa sering seorang pemimpin terlihat di udara dengan helikopter, tetapi dari seberapa dalam ia memahami denyut nadi rakyat di bawah. Teknologi dan kemewahan fasilitas bukanlah tolok ukur kedekatan seorang pemimpin dengan masyarakat, melainkan empati, keberanian mendengar, dan kejujuran dalam bertindak.
Viralnya istilah “Gubernur Helikopter” hendaknya menjadi refleksi, bukan sekadar sensasi. Bagi pemerintah daerah, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki komunikasi publik, menurunkan ego kekuasaan, dan membuka ruang dialog yang lebih terbuka. Sementara bagi masyarakat, kritik yang disampaikan hendaknya tetap berada dalam koridor etika, argumentasi, dan data yang kuat agar tidak terjebak dalam olok-olok tanpa makna.
Dari kritik yang mengudara dari Jalanan yang di suarakan mahasiswa ini pada akhirnya , helikopter memang bisa terbang tinggi. Tapi seorang pemimpin sejati tahu kapan harus mendarat — untuk menyapa rakyat, mendengarkan keluh kesah mereka, dan menjejakkan kakinya kembali di bumi tempat keadilan seharusnya tumbuh.(Red)






