PALEMBANG BARU – Kesenian dan kegiatan budaya di Kota Palembang, tampaknya mati suri. Ibarat kehidupan benang basah. Kondisinya ada, namun lembut tak dapat ditegakkan secara sempurna. Keadaan seperti ini berlangsung dari waktu ke waktu. Padahal seniman Kota Palembang sudah berbuat sekuat tenaga untuk menyelaraskan tarap kehidupan seniman dengan karyanya. Apa yang membuat suasana kebudayaan dan kesenian di Kota Palembang, mati suri?
Hal ini terungkap saat beberapa perwakilan seniman di kota Palembang yang di wakili Febri Al-Lintani, Edwin Fast, Anto Narasoma, Ali Goik serta sejumlah seniman lainnya meklakukan silaturahmi dengan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palembang, H.Mularis Djahri – H. Saidina Ali.Dimana dalam kesempatan ini para seniman mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi kebudayaan dan kesenian di kota Palembang yang seolah-olah mati Suri saat ini.
“Harusnya pemerintah membuka mata untuk memajukan kebudayaan dan kesenian di Palembang. Paling tidak, tempatkan kegiatan budaya dan kesenian itu di gedung kesenian,” ujar Mularis, di kediamannya Jalan Alamsyah Ratu Perwira Negara, beberapa waktu lalu.
Dikatakan Mularis, kota Palembang merupakan wilayah budaya. Bahkan aktivitas kebudayaan sudah dilakukan sejak zaman kesultanan. Pembacaan syair Abdul Muluk serta aktivitas budaya lainnya. “Jika kondisinya seperti benang basah, saya sangat prihatin. Karena itu jika saya dipercaya Allah SWT dan masyarakat Kota Palembang menduduki posisi wali kota, saya akan mencoba membangun nilai-nilai kesenian melalui Dewan Kesenian Palembang,” katanya.
Mularis tak ingin berjanji muluk-muluk dalam konteks kebudayaan ini. Sebab, sebagai manusia yang berbudaya, dia siap mendampingi seniman dan budayawan untuk menunjukkan eksistensi kesenian tersebut.
Menurut Mularis, jika melihat keadaan kesenian saat ini, ternyata perjalanan para seniman dan budayawan seperti kehilangan arah, karena tak ada perhatian dari pemerintah. Padahal eksistensi seni itu harus dibangun dan diperhatikan pemerintah secara menyeluruh. “Yah, termasuk diadakannya gedung kesenian dan tempat bekerjanya para seniman di dewan kesenian kota,” ujar Mularis.
Sebagai manusia berbudaya, katanya, pemerintah wajib memperhatikan aktivitas seni dan kebudayaan. Bayangkan saja, karya seni di Eropa itu mampu memberikan kontribusi bagi kehidupan masyarakatnya. Bahkan di gedung-gedung kesenian di Jerman, misalnya, selalu mengetengahkan pergelaran seni musik dan pementasan teater.
Jika Juni mendatang Mularis-Saidina Ali dipercaya menjadi wali kota dan wakil wali kota, ia berusaha untuk membangun suasana harmoni kesenian yang dapat mengangkat nilai-nilai kehidupan seniman. “Seniman juga manusia yang membutuhkan kehidupan standar. Maka itu saya akan menjadi ‘ayah angkat’ mereka agar seni dan budaya benar-benar hidup di masyarakat,” ujar Mularis, disambut positif para seniman.
Sementara itu, H.Saidina Ali ikut menimpali keprihatinannya. Menurut dia, jika seniman dan budayawan sudah disingkirkan dari aktivitas keseniannya dalam kelompok dewan kesenian, berarti keadaanya sudah mati suri. Menurut dia, tidak disediakannya ruang dewan kesenian setelah bagian bawah Museum Mahmud Badaruddin dibangun, berarti kondisi seniman dan budayawan jadi ‘mati suri’. Sebab, eksistensi mereka sudah dianggap tak dibutuhkan pemerintah lagi.
“Jika Juni nanti kami diberi kesempatan Allah SWT untuk menduduki jabatan wali kota dan wakil wali kota, kami bersedia menjadi ‘bapak angkat’ para seniman dan budayawan. Kita mencoba mengangkat nilai-nilai seni dengan memberi ruang kegiatan seni (pementasan). Bahkan kita juga mencoba memberi tempat bekerja bagi seniman yang tergabung dalam dewan kesenian,” ujar Saidina, tersenyum.
Menurut dia, seni merupakan produk budaya yang harus dihargai. Sebab, kegiatan kebudayaan itu selalu ditampilkan dalam kegiatan apapun di dunia ini. Karena itu Mularis dan Saidina Ali sangat prihatin menyangkut dilematisnya para seniman dan budayawan Kota Palembang yang terkesan ‘mati suri’. “Kita siap menjadi bapak angkat seniman,” tegasnya kepada seniman. (red)