EDITORIAL

ADA APA DENGAN ULAMA KITA

PALEMBANG BARU — Politik dan agama, dua kutub yang sangat berbeda. Berdasarkan Alquran dan Hadist, agama mengajarkan akhlak  terpuji dan jauh dari nilai-nilai munafik

Sedangkan politik, ilmu mengajarkan tentang strategi yang berkaitan dengan nilai sosial kehidupan, pemerintahan dan kemasyarakatan.

Politikus, ketika akan menuju puncak tertinggi dalam karirnya (bisa jadi kekuasaan), sikapnya begitu  jernih, seolah tampil sebagai orang jujur.  Bahkan ketika dilantik sebagai pejabat, ia bersumpah untuk menjadi pemimpin yang baik dan mengayomi rakyatnya.

Benarkah begitu? Meski Alquran atau injil sudah dijajarkan di kepala sebagai tanda persumpahan kepada Allah,  ternyata itu cuma kamuflase.

Banyak di antara yang lari dari akhlak karena dibebani kepentingan-kepentingan tak masuk akal.

Dari kepentingan partai politik yang mengusungnya, pribadi maupun persekongkolan politik. Akibat dari beban itu, si politikus yang tadinya tunak (memahami kesejatian politik secara baik), akhirnya liar.

Mengapa demikian?

Karena politik kepentingan. Justru dengan kepentingan-kepentingan  itulah akhirnya korupsi.

Memang, tidak semua memiliki sikap  bobrok seperti itu. Tapi secara faktual di lapangan,  hitungan politkus yang korupsi sudah di luar ambang batas.

Agama, sejatinya mengajarkan ikhwal  kebaikan akhlak justru akan terseret ke jalan kekeliruan apabila tak kuat menghadapi haru-birunya kehidupan materialistik.

Namun aneh, terkait masalah yang dibicarakan itu,  para habaib, ulama dan ustadz se-Kota Palembang justru komitmen mendukung salah satu paslon pada pilkada 28 Juni 2018 nanti.

Dalam acara buka bersama di kediaman salah satu Paslon Tersebut pada Sabtu (19/5) lalu,  dikabarkan lebih dari 200 ulama sepakat mendukung salah satu paslon dalam pilkada nanti, padahal pada kenyataannya semua calon yang ikut dalam pilkada kota Palembang nanti adalah para Muslim yang baik dan taat pada agamanya.

Dalam kesempaan itu, seorang Habib yang mengatasnamakan mewakili para ulama menyatakan dukungannya kepada paslon tersebut.

Cuma karena sejak sang paslon tersebut memimpin sebagai wali kota, para ulama selalu disertakan.

Dalam deklarasi penyatuan visi dan misi para ulama itu, sang Habib seperti dikutip pada salah satu media menyatakan sang salon di anggapnya adalah sosok yang tepat memimpin.

Dalam pernyataannya, sang habib mengutarakan tentang peraturan daerah (perda) terkait syiar subuh bersama dengan para ulama yang ditandatangani sang calon apabila ia terpilih kembali sebagai wali kota Palembang nantinya.

Yang jadi pertanyaan, apakah jika sang calon walikota tersebut nanti luput dari pilihan rakyat apakah syiar subuh bersama ulama  tidak dapat dilaksanakan?

Sebenarnya, syiar bersama adalah kewajiban umat Islam untuk menyelenggarakannya. Meski walikota nantinya bukan sang paslon tersebut kewajiban menggelar safari subuh bersama ulama adalah sesuatu yang kaffah  digelar oleh seluruh umat Islam.

Masyarakat bukan tak setuju dengan komitmen tersebut. Yang kita pertanyakan,  mengapa komitmen bersama yang selain dihadiri sang Habib tersebut, juga di hadiri ratusan ulama lainnya, menyatakan dukungan hanya kepada sang paslon?

Apakah calon lain tak mampu berbuat sama sedangkan paslon lain juga jelas-jelas beragama Islam?

Adaapa dengan adanya keberpihakan ulama yang hanya kepada satu calon saja ini?

 

Nah, pertanyaan harus dijawab oleh para ulama itu sendiri. Sebab, antara agama dan politik adalah dua kutub yang berbeda jauh untuk disatukan dalam kesepakatan bersama menggelar safari subuh dengan para ulama dan Ulama seharusnya menempati posisi yang semestinya sebagai panutan umat yang menenangkan dan menjaga persatuan umat serta tetap netral di pilkada yang cenderung panas seperti saat ini. (red)

Redaksi Palembang Baru

Tinggalkan Balasan