Palembangbaru.com, PALEMBANG – Perkembangan pengobatan tradisional, baik yang menggunakan media maupun non media, sudah dimanfaatkan sejak jaman dahulu kala. Pengobatan tradisional non media misalnya Energi Prana, Reiki, Tenaga Dalam, Totok Wajah dan lain sebagainya, terbukti dapat mengatasi gangguan kesehatan.
Sedangkan pengobatan tradisional dengan media adalah dengan
memanfaatkan tumbuhan berkhasiat yang dewasa ini berkembang sangat pesat.
Mengingat begitu besarnya potensi pengobatan tradisional Indonesia, maka sejumlah praktisi pengobat lintas keahlian dan disiplin ilmu menghimpun diri dalam wadah organisasi PePATRI yang merupakan kepanjangan dari Perkumpulan Pengobat Alternatif Tradisional dan Ramuan Indonesia.
Sebagai ketua umum terpilih Drs. H. Raden Wijaya, Msi., Ph.D. yang
dikenal juga sebagai dosen dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah, Palembang menjelaskan.
“PePATRI adalah organisasi profesional yang menghimpun pengobat tradisional, baik itu yang menggunakan media maupun non media. Mereka ini secara empiris telah memiliki keahlian baik secara turun-temurun maupun melalui proses belajar. Mereka harus dihimpun
dalam suatu wadah yang dapat memfasilitasi persoalan-persoalan teknis yang meliputi pengobatan tradisional. Misalnya ada yang ingin bertanya mengenai perizinan, kemudian jika
ada aduan dari masyarakat juga kita fasilitasi. Di PePATRI ini juga ada pendidikannya, dimana pengobat bisa menambah wawasan demi meningkatkan mutu pengobatan. Yang paling penting PePATRI juga memiliki kode etik tersendiri,” jelas Wijaya.
Menurutnya, pengobat tradional juga perlu dilindungi, terutama perlindungan secara hukum agar tidak liar dan juga tidak mendapat stigma negatif. Mereka juga harus mempunyai
kepastian hukum dalam menjalankan profesinya.
“Saya mencontohkan, yang menjadi masalah terbaru adalah perubahan PP 103 tentang pelayanan kesehatan tradisional yang terbagi menjadi tiga, yakni Empiris, Komplementer, dan
Integrasi. Nah, yang secara empiris ini bagaimana, para praktisi pengobat tradisional tidak tahu
seperti apa karena juklaknya belum jelas. PP ini juga disinyalir sarat dengan muatan politik tertentu, karena dulu empiris itu namanya sehat alami, kemudian griya pengobatan tradisional,
sekarang namanya menjadi panti,” tambah Wijaya.
Dirinya juga menilai, ada kecenderungan secara global obat-obatan herbal lebih umum dipraktekkan daripada obat-obatan konvensional. Karena itu sebagai ilmuwan Wijaya memandang perlu berdirinya PePATRI sebagai wadah penelitian sekaligus pelestarian warisan
pengobatan ramuan asli Indonesia.
“Sejarah tanaman obat atau herbal di Indonesia berdasarkan fakta sejarah adalah obat asli Indonesia. Catatan sejarah menunjukkan bahwa di wilayah nusantara dari abad ke 5 sampai
dengan abab ke 19, tanaman obat merupakan sarana paling utama bagi masyarakat tradisional kita untuk pengobatan penyakit dan pemeliharan kesehatan. Kerajaan di wilayah nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit dan Mataram mencapai beberapa puncak kejayaan dan menyisakan
banyak peninggalan yang dikagumi dunia, adalah produk masyarakat tradisional yang mengandalkan pemeliharaan kesehatannya dari tanaman obat. Tentu saja lewat wadah PePATRI kami bertekad menjaga dan melestarikan warisan agung ini,” tegasnya.
Artis kondang Eppy Kusnandar mengamini apa yang diketakan oleh Ketua Umum PePATRI. Menurutnya, herbal Indonesia tidak kalah dengan obat-obatan konvensional.
“Saya adalah saksi hidup yang membuktikan keampuhan herbal Indonesia,” ungkap
Kang Eppy, sapaan akrabnya.
Seperti yang sebelumnya ramai diberitakan media, Kang Eppy divonis mengidap kanker
otak stadium akut sehingga usianya diprediksi tidak akan bertahan lama. Namun, berkat ramuan tradisional dirinya masih sehat walafiat hingga detik ini.(**)